"Mereka menyadari Islam di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, juga penting," kata Nur Kholis saat kuliah umum di Universitas Wina, Austria, Senin.
Nur Kholis bersama dengan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Prof BS Mardiatmadja dan Direktur Institute for Study of Islamic Though and Civilization (Insist) Hamid Fahmi Zarkasyi berada di Austria untuk memberi kuliah umum di Universitas Wina dan Universitas Salzburg.
Mereka mengikuti kegiatan Kampanye Diplomatik Umum yang diadakan oleh Kementerian Luar Negeri.
Nur Kholis yang pernah belajar mengenai kajian Islam di Jerman dan mengambil S2 di Belanda itu mengatakan, kajian Islam di Indonesia antara lain ada di Jerman (Frankruf, Hamburg, Berlin, dan Bonn), Belanda, dan Inggris.
Nur Kholis mengatakan, mereka kagum dan merasa heran, Indonesia yang luas dan sangat beragam budaya serta agama tidak pernah bentrok seperti di Balkan. "Aman-aman saja. Mereka kagum," katanya.
Beberapa waktu lalu, katanya, Jerman merasa gagal membangun keanekaragaman padahal penduduknya hanya terdiri dari Jerman asli, Turki dan Yahudi.
Hal itu, katanya, karena Jerman merasa yang paling utama. "Nah Indonesia tidak mengalami hal ini. Kita saling menghargai satu sama lain," katanya.
Nur Kholis juga mengatakan, sejak dahulu kajian mengenai Islam di Eropa hanya tertuju pada kajian Islam Timur Tengah. Namun setelah melihat perkembangan yang ada mereka merasa perlu melihat Islam dari sisi yang lain. "Indonesia salah satunya," kata Nur Kholis.
Ia mengatakan, Indonesia sebagai negara muslim yang besar namun angka konfliknya kecil.
Pada kesempatan itu Nur Kholis juga menggambarkan kondisi kehidupan antaragama di Indonesia. Ia mengakatan bahwa kehidupan antaragama di masa pascareformasi lebih baik dibanding masa orde baru.
Ia mengatakan, pada saat orde baru keberagaman dicoba untuk dieliminir.
Nur Kholis juga mengatakan, jikapun ada konflik di Indonesia maka itu bukan merupakan konflik antaragama. "Saya kira lebih banyak karena faktor lain," katanya.
Sebagai contoh kerusuhan di Sampit, Kalimantan, dan Poso (Sulawesi Tengah), katanya, bukanlah kerusuhan antaragama. Ia mengatakan kerusuhan di Sampit merupakan kerusuhan etnis.
Saat kunjungan Presiden Austria Heinz Fischer ke Indonesia 9 November, Indonesia dan Austria menandatangani perjanjian di bidang peningkatan kerja sama dialog antar umat beragama untuk mendorong hubungan kedua negara yang lebih baik.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, kerja sama itu dapat berbentuk pertukaran pelajar ataupun kunjungan pemuka agama dari kedua negara dalam upaya membentuk dialog antar penganut agama.
Sementara Presiden Fischer mengatakan, Austria telah mendorong adanya dialog antar umat beragama di dalam negeri mereka sebagai upaya untuk mendorong adanya rasa saling memahami.
"Hal tersebut kami kembangkan melalui kerja sama di bidang tersebut dengan negara lain, dan kami memilih Indonesia," paparnya.